Di antara doa dan ikhtiar 2026
Sejak fajar pertama Desember 2025, sinar mentari menyapu hamparan laut dan gunung di Nusa Tenggara Barat (NTB). Ombak di Gili, puncak Rinjani, dan pasir pantai Selatan Lombok menjadi magnet yang tak pernah surut bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Di belakang keindahan panorama itu, tersimpan cerita lain, yakni NTB berdiri di persimpangan penting pembangunan yang menuntut keseimbangan, bukan sekadar pertumbuhan angka.
Di usia ke-67, NTB bukan lagi sekadar provinsi pesisir dengan potensi alam elok. Ia tengah menghadapi pertanyaan besar tentang masa depan, yakni bagaimana mewujudkan pembangunan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan memberi manfaat nyata bagi rakyatnya?
Isu itu mengemuka tajam, ketika pertumbuhan ekonomi daerah menunjukkan dinamika signifikan sepanjang 2025.
Ekonomi berkelanjutan
Menjelang akhir 2025, data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan gambaran yang menarik, dimana pertumbuhan ekonomi NTB, tanpa sektor tambang mencapai 7,86 persen secara tahunan, jauh lebih tinggi dibanding ketika tambang dihitung dalam produk domestik regional bruto (PDRB).
Hal ini membuka wawasan penting bahwa ekonomi NTB bisa tumbuh kuat, tanpa bergantung pada eksploitasi sumber daya yang merusak lingkungan.
Apa artinya bagi resolusi pembangunan 2026? Pertama, NTB harus memperkuat arah ekonomi non-tambang sebagai tulang punggung pertumbuhan inklusif.
Data menunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan, perikanan, serta perdagangan memang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, dengan total ratusan ribu pekerja.
Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah kekuatan kolektif masyarakat yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong ketahanan ekonomi lokal.
NTB punya kesempatan emas untuk mengembangkan rantai nilai sektor unggulan dari hulu ke hilir.
Contohnya, sektor pertanian organik di sekitar kaki Gunung Rinjani bisa dipadukan dengan pariwisata agro-ekologi, sehingga produksi lokal tidak hanya menjadi komoditas jual, tetapi juga daya tarik pengalaman bagi wisatawan.
Selain meningkatkan pendapatan petani, pendekatan ini menjawab tuntutan konsumen global yang kini mencari wisata bermakna dan bertanggung jawab lingkungan.
Pariwisata berkualitas
Pariwisata di NTB tetap menjadi motor utama perekonomian. Pemerintah daerah menargetkan 2,5 juta kunjungan wisatawan sepanjang 2025, dilengkapi dengan kalender kegiatan pariwisata untuk menarik minat pasar domestik dan internasional.
Hanya saja, angka kunjungan bukan akhir cerita. Kualitas pengalaman menjadi kunci identitas NTB di tengah persaingan pariwisata dunia.
Itu sebabnya, sejak awal 2025, NTB tengah merumuskan konsep pariwisata berkualitas dan berkelanjutan yang direncanakan rampung pada Juni 2025.
Konsep ini tidak hanya menimbang jumlah wisatawan, tetapi juga nilai kepuasan, pengalaman lokal yang otentik, dan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
Model pembangunan pariwisata ini harus menghindari jebakan overtourism yang mengikis kualitas hidup warga lokal dan merusak lingkungan, seperti yang pernah menjadi pengalaman di beberapa tempat wisata global.
Justru, NTB berpeluang menjadi model objek yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan memberi nilai lebih bagi komunitas lokal.
Pergeseran paradigma ini juga sejalan dengan dorongan legislator setempat agar pengembangan wisata berdasar pada rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), sehingga kebijakan bersifat terukur dan berjenjang, dari tingkat desa hingga provinsi.
Dengan begitu, pariwisata tidak hanya menjadi alat pemasukan devisa, tetapi juga pengungkit bagi sektor lain, seperti pertanian, industri kreatif, seni budaya, dan UMKM berbasis lokal
Tantangan sosial
Walau data ekonomi positif menghiasi pertumbuhan 2025, persoalan sosial klasik masih menghantui NTB. Misalnya, angka perkawinan anak di provinsi ini masih tinggi, yang mencerminkan tantangan struktural kesejahteraan keluarga dan akses pendidikan.
Ini bukan persoalan sepele; ia berakar pada kemiskinan, kurangnya literasi, dan struktur keluarga yang rapuh.
Jika tidak ditangani secara terpadu, masalah sosial seperti ini akan mengekang potensi ekonomi dan pemuda NTB, yakni generasi yang seharusnya menjadi agen perubahan masa depan.
Solusi jangka panjang harus melibatkan pendidikan karakter dan ekonomi keluarga, termasuk program pemberdayaan perempuan, pendidikan kewirausahaan sejak dini, dan dukungan bagi anak muda untuk meraih kesempatan kerja yang bermartabat.
Selain itu, isu lingkungan juga menjadi faktor penting dalam resolusi 2026. Ketergantungan pada sektor pertambangan tidak hanya menekan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, tetapi juga membawa dampak ekologis negatif.
Upaya NTB memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa tambang bukan hanya mungkin, tetapi lebih adil dan ramah lingkungan.
Strategi lingkungan harus menjadi bagian esensial dari setiap kebijakan pembangunan NTB. Penyelamatan kawasan pesisir, konservasi mangrove, perlindungan mata air dan hutan, serta pengembangan pariwisata eco-friendly dapat menjadi mesin pertumbuhan baru.
Ketika sektor ekonomi berjalan selaras dengan lingkungan, maka keberlanjutan, baik ekonomi maupun ekologis, akan menjadi nyata
Resolusi 2026
Resolusi pembangunan NTB menuju 2026 sejatinya bukan sekadar daftar target, melainkan cerminan kehendak kolektif untuk melangkah menuju NTB Emas, yakni satu daerah yang sejahtera, cerdas, dan berkelanjutan.
Arah itu menuntut keberanian meninggalkan ketergantungan lama dan menata fondasi baru yang lebih adil bagi masyarakat dan alam.
Ekonomi inklusif menjadi pijakan utama, dengan menempatkan sektor non-tambang sebagai penggerak utama pertumbuhan. Pertanian, perikanan, dan industri pengolahan lokal tidak lagi diposisikan sebagai sektor pendukung, tetapi sebagai sumber nilai tambah yang memberi penghidupan luas.
Di saat yang sama, UMKM berbasis produk lokal dan kreativitas budaya diperkuat agar ekonomi rakyat tumbuh dari bawah, berakar pada identitas dan kearifan setempat.
Pariwisata pun diarahkan melampaui hitungan kunjungan. Konsep pariwisata berkualitas dan berkelanjutan diimplementasikan dengan ukuran yang lebih bermakna, seperti pengalaman, kepuasan, serta dampak nyata bagi warga.
Integrasi pariwisata dengan budaya, pertanian, dan komunitas lokal menjadi kunci agar sektor ini tidak berdiri sendiri, melainkan menghidupkan ekosistem ekonomi yang lebih luas.
Di ranah sosial, kepedulian dibangun secara terpadu. Pendidikan lintas usia tentang kesehatan reproduksi, literasi keuangan, dan kewirausahaan menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia.
Perlindungan sosial bagi keluarga rentan dipadukan dengan upaya peningkatan kapasitas, agar masyarakat tidak hanya terlindungi, tetapi juga berdaya.
Semua itu berpijak pada satu fondasi yang tak bisa ditawar, yakni lingkungan. Konservasi ekosistem pesisir dan daratan, pemanfaatan energi bersih, serta pengelolaan limbah yang lebih bertanggung jawab menjadi penyangga masa depan.
Dengan alam yang terjaga, pembangunan tidak hanya berumur pendek, tetapi berkelanjutan menjadi warisan yang layak bagi generasi NTB berikutnya
Menyatukan harapan
NTB di tahun 2026 bukan sekadar tentang target kunjungan, angka PDRB, atau indeks statistik. Ia tentang bagaimana masyarakat lokal hidup dalam keharmonisan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketika pariwisata, pertanian, budaya, dan pendidikan berjalan sinergis, maka NTB dapat menunjukkan kepada dunia bahwa pembangunan tidak perlu mengorbankan identitas, kesejahteraan, atau keberlanjutan.
Langkah ke depan menuntut keberanian para pemimpin untuk berpikir jangka panjang, keterlibatan publik yang lebih luas, dan kolaborasi antarsektor. Bukan sekadar resolusi yang tertulis di dokumen perencanaan, tetapi aksi nyata yang dirasakan oleh setiap keluarga di NTB.
Di balik ombak dan puncak gunung, masa depan NTB bukan hanya menunggu waktu, tapi disusun dari hari demi hari oleh warga yang bekerja, bermimpi, dan mencintai tanah kelahirannya.
Perjalanan menuju 2026 telah dimulai. Tugas bersama, kini adalah memastikan bahwa setiap keputusan memajukan kesejahteraan, keberlanjutan, dan kebanggaan akan identitas NTB.
0 Response to "Di antara doa dan ikhtiar 2026"
Posting Komentar