Pasang Iklan Gratis

Pekerja migran, antara pelindungan dan penyiapan pekerja terampil

Di tengah berbagai agenda besar nasional seperti ketahanan pangan, penguatan ekonomi nasional, dan peningkatan kesejahteraan rakyat, ada satu isu yang masih terus membayangi, yakni nasib para pekerja migran.

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Kementerian P2MI) memperkirakan total Pekerja Migran Indonesia (PMI) per awal 2025 mencapai 5,2 juta orang. Namun, jumlah pekerja migran yang berangkat secara ilegal bisa jadi jauh lebih banyak daripada yang melalui jalur resmi.

Data pekerja migran yang tersedia, hanya data dari Bank Dunia pada 2017 yang menyatakan jumlah pekerja migran ilegal asal Indonesia mencapai 4,3 juta orang. Delapan tahun sejak data tersebut dirilis, tidak ada yang tahu angka pasti jumlah pekerja migran ilegal tersebut. Satu hal yang pasti, Kementerian P2MI mendata bahwa 90 persen pekerja yang mengalami kekerasan verbal, fisik, penipuan, hingga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah pekerja migran ilegal.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 456 pengaduan kasus dari pekerja migran sepanjang 2024. Sebagian besar atau 43 persen berasal dari sektor awak kapal perikanan, 17,5 persen dari pekerja rumah tangga, serta 62 kasus dari pekerja yang menjadi korban penipuan daring.

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) juga mencatat lebih dari 3.300 pekerja migran Indonesia menjadi korban perdagangan manusia di Timur Tengah sejak 2015 hingga pertengahan 2023, namun hanya sekitar 2 persen kasus yang berujung pada keadilan

Laporan Global Slavery Index pada 2024 juga memperkirakan lebih dari 1,8 juta orang di Indonesia berada dalam kondisi perbudakan modern, termasuk kerja paksa dan eksploitasi.

Pelindungan pekerja migran

Jika seorang anak yang dengan seizin ibunya selalu bermain di sekitar lingkungan rumah pada sore hari, tiba-tiba di suatu malam, anak itu tak kunjung balik meski langit telah gelap. Si ibu tentu akan mencoba mengecek ke tempat di mana anaknya bermain, mencoba bertanya ke ibu-ibu lain yang menjadi teman bermain anaknya, hingga lapor ke pihak berwajib jika tak kunjung menemukan jawaban.

Namun, jika dalam kesehariaannya, si anak hanya tinggal dengan kakaknya saja dan si ibu bekerja jauh dari kampung halaman, maka ada kemungkinan si ibu tidak langsung mengetahui jika suatu hari anaknya tidak lagi berada di rumah.

Mungkin begitu perumpamaan mengenai pekerja migran yang berangkat secara ilegal. Sejatinya, aktivitas seorang warga harus tercatat secara resmi, mulai dari kelahiran, hingga kematian. Tujuannya, agar negara tau keberadaan kita dan menyadari hak-hak yang sudah semestinya kita terima.

Bekerja di luar negeri memang terlihat menggiurkan, terutama berangkat dengan cara ilegal karena tak perlu mengikuti prosedur. Jika harus mengikut aturan pemerintah, maka harus menunggu, tergantung ketersediaan lowongan. Belum lagi harus bersaing dengan puluhan ribu orang yang juga memiliki keinginan mengubah nasib dengan bekerja di luar negeri.

Berangkat secara ilegal, tidak perlu modal banyak, bahkan cukup dengan ratusan ribu saja untuk membayar calo. Paspor dan visa, menjadi urusan si calo sepenuhnya. Masalah negara tujuan, diserahkan semua ke calo, asal bisa segera bekerja dan mendapatkan penghasilan.

Namun, semua itu hanya manis di awal. Jika negara membutuhkan waktu lama untuk menyadari bahwa “anaknya” sudah lama tidak berada di rumah, maka tidak akan ada yang mengetahui jika si anak kekurangan makan, tak lagi punya baju, dan tidur di jalanan karena tidak lagi punya tempat berteduh.

Pun jika si “ibu” akhirnya menyadari bahwa anaknya tidak baik-baik saja, upaya membawa si anak untuk kembali ke rumah juga tidak mudah, apalagi jika si anak kedapatan memasuki rumah orang lain tanpa izin.

Ketua Umum Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI), Agusmidah, menyoroti sistem penempatan pekerja migran yang belum terpadu sebagai salah satu celah yang dimanfaatkan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) untuk berangkat secara non-prosedural.

Pelindungan bagi PMI secara normatif diatur dalam UU No. 18/2017 yang menyatakan bahwa pelindungan bagi PMI meliputi pelindungan sebelum kerja, selama kerja, dan setelah bekerja (Pasal 7).

Namun, revisi undang-undang itu masih belum disahkan, sehingga Kementerian P2MI belum sepenuhnya memiliki wewenang untuk mengawasi dan menjamin pelindungan pekerja migran, karena dalam UU persoalan pekerja migran masih berada di bawah kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan

Mengutip amanat UU No. 18/2017, Agusmidah yang merupakan Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu, menjelaskan bahwa pemerintah sudah menyiapkan “jalan” untuk calon pekerja migran ke luar negeri.

Pekerja sektor domestik, kebersihan, sektor perkebunan, dan perikanan internasional, dikenakan biaya nol rupiah. Beberapa imigrasi, seperti di Nusa Tenggara Timur, telah menerapkan nol rupiah untuk CPMI yang akan mengurus paspor.

0 Response to "Pekerja migran, antara pelindungan dan penyiapan pekerja terampil"

Posting Komentar