Refleksi kemerdekaan RI: mewujudkan kedaulatan digital, telekomunikasi
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah yang menandai berakhirnya penjajahan fisik oleh bangsa asing.
Namun, dalam era digital, saat ini, bentuk penjajahan telah bergeser dari fisik ke ranah teknologi dan informasi. Kedaulatan tidak lagi hanya berarti bebas secara teritorial, tetapi juga bebas dalam mengelola dan menguasai teknologi serta data digital.
Inilah tantangan baru bagi bangsa Indonesia, mewujudkan kedaulatan telekomunikasi dan teknologi digital sebagai bagian dari kemerdekaan yang sejati.
Kedaulatan digital merujuk pada kemampuan suatu negara untuk mengontrol dan mengelola data, sistem informasi, serta infrastruktur teknologi secara mandiri.
Menurut Prof Dr Ir Richardus Eko Indrajit, seorang pakar teknologi informasi dan pendidikan, kedaulatan digital adalah hak dan kemampuan suatu bangsa untuk menentukan arah dan kebijakan teknologi informasi, tanpa intervensi asing. Ia menekankan bahwa bangsa yang tidak memiliki kontrol atas data dan sistem digitalnya akan menjadi "koloni digital" dalam tatanan global.
Sementara itu, kedaulatan telekomunikasi berkaitan dengan penguasaan atas infrastruktur komunikasi, seperti jaringan internet, satelit, dan sistem transmisi data.
Prof Dr Ing Satriyo Soemantri Brodjonegoro, mantan rektor ITB dan tokoh teknologi nasional, menyatakan bahwa telekomunikasi adalah tulang punggung pertahanan dan pembangunan nasional. Ketergantungan pada teknologi asing dalam bidang ini dapat melemahkan posisi Indonesia dalam geopolitik dan ekonomi global.
Perjuangan baru
Kemerdekaan digital adalah bentuk perjuangan baru yang harus dihadapi oleh generasi Indonesia, saat ini. Bung Karno pernah berkata bahwa “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas”, yang harus dilalui untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Dalam konteks digital, jembatan emas itu adalah penguasaan teknologi dan informasi.
Dalam buku “Indonesia dalam Arus Sejarah Teknologi” karya Prof Dr Taufik Abdullah, disebutkan bahwa bangsa yang tidak menguasai teknologi akan selalu tertinggal dan tergantung pada bangsa lain. Kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika Indonesia mampu berdiri di atas kekuatan teknologinya sendiri.
Salah satu contoh nyata adalah proyek pembangunan satelit Satelit Republik Indonesia (SATRIA), yang bertujuan untuk menyediakan akses internet ke daerah terpencil. Meskipun proyek ini menunjukkan komitmen pemerintah terhadap kedaulatan telekomunikasi, tantangan tetap ada dalam hal penguasaan teknologi satelit dan pengelolaan spektrum frekuensi.
Contoh lain adalah dominasi perusahaan asing dalam ekosistem digital Indonesia. Banyak aplikasi populer yang digunakan masyarakat Indonesia berasal dari luar negeri, dan data pengguna disimpan di server asing. Hal ini menimbulkan risiko kebocoran data dan ketergantungan sistemik yang bertentangan dengan semangat kedaulatan.
Prof Dr Ir Heru Sutadi, seorang akademisi dan praktisi telekomunikasi, menyatakan bahwa kedaulatan digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kebijakan dan kesadaran nasional. Ia menekankan pentingnya membangun ekosistem teknologi lokal yang kuat, mulai dari riset, pendidikan, hingga industri.
Dalam bukunya “Strategi Nasional Teknologi Informasi”, Prof Heru menulis bahwa negara yang tidak memiliki strategi digital akan menjadi pasar bagi produk asing, bukan produsen. Ia mengajak pemerintah dan masyarakat untuk melihat teknologi sebagai alat perjuangan, bukan sekadar alat konsumsi.
Menuju kedaulatan
Untuk mewujudkan kedaulatan digital dan telekomunikasi, Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada semangat kemerdekaan semata. Diperlukan langkah-langkah strategis yang konkret dan berkelanjutan. Perjalanan menuju kemandirian teknologi adalah proses panjang yang harus dimulai dari fondasi yang kuat
Langkah pertama adalah penguatan infrastruktur lokal. Pemerintah perlu memastikan bahwa tulang punggung digital Indonesia, seperti pusat data nasional, jaringan fiber optik, dan satelit komunikasi, dibangun dan dikelola oleh entitas lokal. Infrastruktur ini bukan hanya soal konektivitas, tetapi juga soal kontrol atas informasi dan keamanan nasional. Ketika data warga negara disimpan dan diproses di dalam negeri, maka risiko kebocoran dan penyalahgunaan oleh pihak asing dapat diminimalkan.
Selanjutnya, Indonesia harus berinvestasi dalam pengembangan teknologi mandiri. Universitas dan lembaga riset perlu diberi ruang dan dukungan untuk menciptakan teknologi inti, seperti chip, sistem operasi, dan perangkat lunak keamanan. Tanpa penguasaan atas teknologi dasar ini, Indonesia akan terus bergantung pada produk luar negeri, yang bisa menjadi ancaman jika terjadi konflik atau ketegangan geopolitik.
Hanya saja, teknologi saja tidak cukup. Regulasi perlindungan data harus ditegakkan secara konsisten. Undang-undang Perlindungan Data Pribadi yang telah disahkan harus menjadi tameng bagi warga negara dari eksploitasi data oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Penegakan hukum yang tegas akan menunjukkan bahwa Indonesia serius dalam menjaga kedaulatan digitalnya.
Di sisi lain, literasi digital nasional juga harus menjadi prioritas. Masyarakat Indonesia perlu diberdayakan agar tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan pengelola. Pendidikan digital harus masuk ke kurikulum sejak dini, agar generasi muda tumbuh dengan pemahaman yang kuat tentang etika, keamanan, dan potensi teknologi.
Terakhir, kemandirian ekonomi digital harus dibangun melalui dukungan terhadap startup lokal. Pemerintah dan sektor swasta perlu menciptakan ekosistem yang memungkinkan perusahaan teknologi Indonesia tumbuh, tanpa ketergantungan pada modal asing.
Pendanaan, pelatihan, dan kebijakan fiskal yang berpihak pada inovasi lokal akan menjadi kunci untuk menciptakan unicorn yang benar-benar nasionalis, yang tidak hanya beroperasi di Indonesia, tetapi juga dimiliki dan dikendalikan oleh anak bangsa.
Langkah-langkah ini bukan sekadar strategi teknis, tetapi merupakan bagian dari perjuangan panjang menuju kemerdekaan yang utuh. Di era digital, kedaulatan bukan hanya soal batas wilayah, tetapi juga soal batas data, batas algoritma, dan batas kendali atas masa depan bangsa.
Refleksi
Kemerdekaan di era digital bukan hanya soal kebebasan berekspresi, tetapi juga tentang kontrol atas informasi dan teknologi, seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia seutuhnya.” Dalam konteks digital, pendidikan dan literasi teknologi menjadi kunci untuk membebaskan bangsa dari ketergantungan.
Kemerdekaan Indonesia harus terus dimaknai secara dinamis. Dalam buku “Membangun Indonesia dari Pinggiran” karya sejarawan Prof Dr Anhar Gonggong, disebutkan bahwa kemerdekaan harus diisi dengan pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Teknologi digital adalah alat yang dapat mempercepat pembangunan, tetapi hanya jika dikuasai dan dikelola secara mandiri.
Kedaulatan telekomunikasi dan teknologi digital adalah bagian tak terpisahkan dari kemerdekaan Indonesia di abad ke-21. Tanpa penguasaan atas teknologi dan informasi, kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata akan kehilangan maknanya. Oleh karena itu, perjuangan menuju kedaulatan digital harus menjadi agenda nasional yang melibatkan seluruh elemen bangsa: pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat.
Kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan titik awal untuk membangun bangsa yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat di era digital.
0 Response to "Refleksi kemerdekaan RI: mewujudkan kedaulatan digital, telekomunikasi"
Posting Komentar