Garuda Muda dan Bayang-Bayang Kembalinya "Mode Setelan Pabrik"
Di Piala AFF U-23 edisi 2025, Timnas Indonesia U-23 mampu melangkah ke final. Catatan performanya pun terbilang impresif, 10 gol, 3 kali menang dan sekali imbang, dengan hanya sekali kebobolan.
Secara statistik, performa tim asuhan Gerald Vanenburg ini juga cukup impresif, karena mampu mencatat lebih dari 60 persen penguasaan bola. Jadi, wajar jika optimisme menjadi warna umum menuju laga final versus Vietnam.
Jika hanya melihat catatan statistik, semuanya terlihat meyakinkan, tapi jika melihat cara bermain dan suasana yang ada di sekeliling tim, ada satu hal yang jujur saja sedikit mengkhawatirkan.
Di turnamen kelompok umur tingkat ASEAN ini, Garuda Muda seperti menghidupkan kembali versi "setelan pabrik" yang dulu familiar.
Ada "hype" berlebihan saat membabat Brunei Darussalam 8-0 di laga pembuka, seolah-olah tim sudah tampil luar biasa. Padahal, performa luar biasa itu hanya terlihat di babak pertama, yang mampu mencetak 7 gol, sebelum akhirnya menurun di babak kedua.
Meski terlihat seperti satu taktik pengaturan kondisi, penurunan performa seperti ini adalah sinyal lampu kuning. Terbukti, Kadek Arel dkk cukup keteteran saat menghadapi Filipina, Malaysia dan Thailand.
Meski bisa mendominasi penguasaan bola, mereka masih rawan dalam situasi serangan balik, dan terlalu banyak bergantung pada situasi bola mati. Gol tunggal kemenangan atas Filipina berawal dari lemparan jauh Robi Darwis, sementara gol ke gawang Thailand di semifinal berawal dari sepak pojok.
Dari segi skema permainan, umpan kombinasi atau serangan dari bawah sering macet di sepertiga akhir lapangan, karena para pemain terlalu asyik menggoreng bola, saat seharusnya bisa mengoper atau menembak.
Situasi ini membuat stamina para pemain tampak terkuras di babak kedua. Benar-benar persis seperti Timnas Indonesia mode "setelan pabrik".
Ada juga sorotan berlebih kepada Jens Raven, atas 6 golnya ke gawang Brunei, tim yang selalu kalah di fase grup. Meski layak diapresiasi, semua sorotan yang ada telah membuat pemain Bali United ini berada dalam situasi kurang nyaman.
Ada ketergantungan cukup besar padanya, meski bolak-balik dibuat tumbang oleh permainan kasar lawan. Sejak mengalami kram di laga melawan Brunei, ia tidak pernah berada dalam kondisi prima.
Satu-satunya kesempatan bermain penuh datang, saat Timnas U-23 menang adu penalti dari Thailand di semifinal. Di laga ini, satu golnya menyelamatkan tim dari kekalahan, tapi otot kakinya bermasalah di akhir laga.
Kondisi Raven, ditambah masalah serupa pada Arkhan Fikri dan Toni Firmansyah, membuat skema permainan ideal tim hanya terlihat pada babak pertama pertandingan melawan Brunei.
Selebihnya, sporadis dan mentok di situasi permainan terbuka. Praktis, hanya situasi bola mati dan umpan silang, termasuk lemparan jauh, yang bisa diandalkan.
Untuk tingkat ASEAN, strategi sederhana seperti ini memang masih efektif, tapi, dengan permasalahan yang ada, ini adalah satu modal mengkhawatirkan.
Meski bisa lolos ke final Piala AFF U-23 tanpa kekalahan dan bermain di kandang sendiri, optimisme dan "hype" tinggi saja tidak banyak membantu.
Jangan lupa, tekanan khas partai final rawan membuat sebuah tim terkena demam panggung. Di level Asia Tenggara, Indonesia adalah tim yang cukup kenyang pengalaman soal ini.
Selain karena ini laga final, lawannya Vietnam, tim yang biasanya bermain cepat dan keras. Jelas tak mudah, apalagi, kalau pemain kunci seperti Jens Raven dan Arkhan Fikri tak pulih tepat waktu.
Masih ada banyak catatan untuk perbaikan buat Timnas U-23, dan gelar juara Piala AFF U-23 sekalipun bukan alasan untuk boleh merasa puas terlalu cepat. Masih ada kualifikasi Piala Asia U-23 yang menunggu setelah ini.
0 Response to "Garuda Muda dan Bayang-Bayang Kembalinya "Mode Setelan Pabrik""
Posting Komentar